Minggu, 31 Maret 2013

TRANSFORMATOR



TRANSFORMATOR

Transformator atau sering juga disebut trafo adalah komponen elektronika pasif yang berfungsi untuk mengubah (menaikkan/menurunkan) tegangangan listrik bolak-balik (AC). Bentuk dasar transformator adalah sepasang ujung pada bagian primer dan sepasang ujung pada
bagian sekunder. Bagian primer dan skunder adalah merupakan lilitan kawat email yang tidak berhubungan secara elektris. Kedua lilitan kawat ini dililitkan pada sebuah inti yang dinamakan inti trafo. Untuk trafo yang digunakan pada tegangan AC frekuensi rendah biasanya inti trafo terbuat dari lempengan2 besi yang disusun menjadi satu membentuk teras besi. Sedangkan untuk trafo frekuensi tinggi (digunakan pada rangkaian2 Radio Frequency/RF) menggunakan inti ferit (serbuk besi yang dipadatkan).
Pada penggunaannya trafo juga digunakan untuk mengubah impedansi.
Untuk trafo frekuensi rendah contohnya adalah trafo penurun tegangan (Step Down Trafo) yang digunakan pada peralatan2 elektronik tegangan rendah, adaptor, pengisi battery dsb. Trafo jenis ini jika pada bagian primernya kita hubungkan dengan tegangan AC misalnya 220 volt maka pada bagian skundernya akan mengeluarkan tegangan yang lebih rendah. Pada rangkaian tersebut trafo berfungsi untuk menurunkan tegangan AC dari jala-jala PLN yang 220 volt menjadi sebesar tegangan yang dibutuhkan peralatan tersebut agar dapat bekerja normal, misalnya 3 volt, 6 volt atau 12 volt dsb.
Sementara itu trafo penaik tegangan (Step Up Trafo) adalah kebalikan dari step down trafo yaitu untuk menaikkan tegangan listrik AC. Sebuah trafo penurun tegangan bisa juga kita gunakan untuk menaikkan tegangan dengan membalik bagian primernya menjadi skunder dan bagian skunder menjadi primer, tentu dengan memperhatikan tegangan kerja trafo tersebut. Contoh penggunaan trafo penaik tegangan adalah pada rangkaian emergency light/lampu darurat yang menyala saat PLN padam dan UPS pada PC. Prinsip kerjanyanya adalah tegangan DC (searah) yang berasal dari battery diubah menjadi tegangan AC (bolak-balik) lalu dinaikan menjadi 220 volt oleh trafo sehingga mampu menyalakan lampu atau PC di saat PLN padam.
Prinsip trafo penurun tegangan adalah jumlah lilitan primernya lebih banyak dari pada jumlah lilitan skundernya. Sedangkan trafo penaik tegangan memiliki jumlah lilitan primer lebih sedikit dari pada jumlah lilitan skundernya. Jika dilihat dari besarnya ukuran kawat email yang digunakan, trafo penurun tegangan memiliki ukuran kawat yang lebih kecil pada lilitan primernya. Sebaliknya trafo penaik tegangan memiliki ukuran kawat yang lebih besar pada lilitan primernya. Hal ini dikarenakan pada trafo penurun tegangan out put (keluaran) arus listriknya lebih besar, sedangkan trafo penaik tegangan memiliki out put arus yang lebih kecil. Sementara itu frekuensi tegangan pada in put dan out putnya tetap (tidak ada perubahan). Parameter lain adalah efisiensi daya trafo. Dalam kinerjanya trafo yang bagus memiliki efisiensi daya yang besar (sekitar 70-80%). Daya yang hilang biasanya keluar menjadi kalor/panas yang timbul pada saat trafo bekerja. Trafo yang memiliki efisiensi tinggi dibuat dengan teknik tertentu dengan memperhatikan bahan inti trafo, kerapatan lilitannya serta faktor2 lainnya.
Untuk mengetahui sebuah trafo masih bagus atau sudah rusak adalah dengan menggunakan AVO meter. Caranya posisikan AVO meter pada posisi Ohm meter, lalu cek lilitan primernya harus terhubung. Demikian juga lilitan sekundernya juga harus terhubung. Sedangkan antara lilitan primer dan skunder tidak boleh terhubung, jika terhubung maka trafo tersebut konslet (kecuali untuk jenis trafo tertentu yang memang didesain khusus untuk pemakaian tertentu). Begitu juga antara inti trafo dan lilitan primer/skunder tidak boleh terhubung, jika terhubung maka trafo tersebut akan mengalami kebocoran arus jika digunakan. Secara fisik trafo yang bagus adalah trafo yang memiliki inti trafo yang rata dan rapat serta jika digunakan tidak bergetar, sehingga efisiensi dayanya bagus. Dalam penggunaannya perhatikan baik2 tegangan kerja trafo, tiap tep-nya biasanya ditulis tegangan kerjanya misalnya pada primernya 0V - 110V - 220V, untuk tegangan 220 volt gunakan tep 0V dan 220V, sedangkan untuk tegangan 110 volt gunakan 0V dan 110V, jangan sampai salah atau trafo kita bakal hangus! Dan pada skundernya misalnya 0V - 3V - 6V - 12V dsb, gunakan 0V dan tegangan yang diperlukan. Ada juga jenis trafo yang menggunakan CT (Center Tep) yang artinya adalah titik tengah. Contoh misalnya 12V - CT - 12V, artinya jika kita gunakan tep CT dan 12V maka besarnya tegangan adalah 12 volt, tapi jika kita gunakan 12V dan 12V besarnya tegangan adalah 24 volt.
Besarnya arus listrik yang bisa di supply oleh sebuah trafo biasanya juga dicantumkan misalnya 0.5 Amp, 1 Amp, 5 Amp dsb. Sesuaikan dengan kebutuhan jika membeli atau menggunakannya agar bisa berfungsi normal dan efisien.
Jenis2 trafo yang lain adalah trafo OT(Output Trafo) dan IT(Input Trafo). Trafo jenis ini banyak digunakan pada peralatan audio. Untuk trafo frekuensi tinggi mungkin nanti akan kita bahas pada bagian Radio Frekuensi (RF) karena penggunaannya lebih banyak dalam rangkaian2 RF.

Teori Relativitas Khusus : Percobaan Michelson-Morley Dan Prinsip Relativitas Einstein



Teori Relativitas Khusus : Percobaan Michelson-Morley Dan Prinsip Relativitas Einstein
Teori Relativitas Khusus :
Percobaan Michelson-Morley Dan Prinsip Relativitas Einstein
Konsep teori relativitas
Teori relativitas khusus yang diperkenalkan Albert Einstein ialah tingkah laku benda yang diposisikan dalam kerangka acuan inersia, umumnya hanya berlaku pada kecepatan yang mendekati kecepatan cahaya. Sedangkan Teori relativitas umum Einstein ialah Teori yang lebih luas. Dimana dengan memasukkan gravitasi sebagai fenomena geometris dalam sistem koordinat ruang dan waktu yang melengkung, juga dimasukkan kerangka acuan noninersia (misalnya, percepatan).
Apakah relativitas itu?
Relativitas klasik (yang diperkenalkan pertama kali oleh Galileo Galilei dan didefinisikan ulang oleh Sir Isaac Newton) mencakup transformasi sederhana diantara benda yang bergerak dan seorang pengamat pada kerangka acuan lain yang diam (inersia).
Permasalahan dengan relatifitas ini terjadi ketika diaplikasikan pada cahaya, pada akhir 1800-an, untuk merambatkan gelombang melalui alam semesta terdapat substansi yang dikenal dengan eter, yang mempunyai kerangka acuan. Eksperimen Michelson- Morley, bagaimanapun juga telah gagal untuk mendeteksi gerak bumi relatif terhadap eter, dan tidak ada seorangpun yang bisa menjelaskan fenomena ini. Ada sesuatu yang salah dalam interpretasi klasik dari relatifitas jika diaplikasikan pada cahaya, kemudian muncullah pemahaman baru yang lebih matang setelah Einstein datang untuk menjelaskan fenomena ini.
Percobaan Michelson-Morley
Gejala perambatan permukaan air atau gelombang bunyi merambat dari satu titik ke titik lainnya karena adanya medium. Akan tetapi, bagaimanakah halnya dengan cahaya?
Kita telah mengetahui bahwa cahaya merambat karena perambatan gelombang elektromagnetik. Dengan demikian cahaya dapat merambat dalam ruang hampa : buktinya cahaya matahari sampai ke bumi menembus ruang hampa. Gejala perambatan elektromagnetik ini menimbulkan pertanyaan bagi para pakar fisika “Apakah mungkin gelombang merambat dalam ruang hampa?”
Paham perambatan cahaya ini bertentangan dengan teori perambatan gelombang pada umumnya, bahwa gelombang memerlukan medium untuk merambatkan energinya.
Pada abad XIX, para pakar fisika terpaksa menggunakan hipotesa keberadaan eter sebagai medium perambatan gelombang elektromagnetik. Hipotesa ini mengatakan bahwa alam semesta di jagad ini banyak dipenuhi eter yang tidak mempunyai wujud, tetepi dapat menghantarkan perambatan gelombang.
Michelson dan Morley adalah dua orang sarjana fisika berkebangsaa Amerika Serikat. Mereka mencoba membuktikan keberadaan “eter” tersebut. Alat-alat yang digunakan dinamakan Interferometer.
Prinsip kerja alat itu seperti gambar di bawah. Pada gambar yang akan disajikan eter bergerak ke kanan dengan kecepatan v terhadap bumi : dan cahaya merambat dengan kelajuan C terhadap bumi.
Gambar 6-1 (a) diagram skematik dari percobaan Micheison dan Morley. (b) jalan cahaya dari A ke B searah dengan aliran eter, dan dari B ke A berlawanan dengan aliran eter. (c) jalan cahaya menempuh lintasan tegak lurus dengan aliran eter.
Gambar 6-1B menunjukan jalan cahaya dalam lintasan searag gerak eter. Dari A ke B, kecepatan eter v searah dengan kecepatan cahaya C, sehingga eter akan mempercepat  gerak cahaya. Sedangkan dari B ke A, kecepatan eter V berlawanan dengan kecepatan cahaya c. Sehingga eter akan memperlambat gerak cahaya. Dengan demikian kecepatan cahaya A ke B dan dari B ke A ialah :
Vab = c + v dan Vba = c – v
Waktu yang diperlukan untuk menempuh jarak AB ialah :
tAB  =  AB (VAB)-1 = L. (C + V)-1
Sedangkan waktu yang diperlukan untuk menempuh jarak BA ialah :
tAB  =  AB (VAB)-1 = L. (C – V)-1
Waktu menempuh lintasan AB pulang pergi (tx) sama dengan waktu untuk menempuh AB ditambah waktu untuk menempuh BA. Dengan demikian :
T1  = tAB + tBA
T= L (c +v)-1 + L (C – V)-1
T= LC – Lv + Lc + Lv (C2 + V2)-1
T1 = 2 LC . (1 – V2 C-2)-1
Gambar 6-1 C menunjukan jalan cahaya yang menempuh lintasan tegak lurus dengan gerak eter. Di bawah pengaruh kecepatan cahaya terhadap eteer (u) adalah selisih Vektor antara kecepatan cahaya terhadap bum (c) dengan kecepatan eter terhadap bumi (v). Secara vektor ditulis :
U = c – v
Karena vektor u dan v saling tegak lurus, maka besar kecepatan cahaya dapat dihitung dengan menggunakan dalil phytagoras, yaitu :
U = √ C2 – V2
Waktu untuk menempuh lintasan AC pulang pergi (t2) sama dengan dua kali waktu menempuh AC. Dengan demikian :
T= 2 tAC
T2  = 2 AC (u)-1
T2 = 2L (√ C2 – V2 )-1
T2 = 2L  √ (C2 (1 – V2 (C-2))
T2 = 2L C-1  (√ (C2 (1 – V2 (C-2)))

Bila T2 :   T1   akan diperoleh :

T2 :  T1  = 2LC-1 (√ (C2 (1 – V2 (C-2))) . (2 LC . (1 – V2 C-2)-1  ) -1
T2 :  T1  = (√(1 – V2 (C-2))

Hasil dari percobaan mereka menunjukan bahwa sama sekali tidak adanya persamaan besar antara T2 dan T1. Percobaan itu diulang dan terus diulang dalam posisi dan pada waktu berbeda-beda. Akan tetapi hasilnya tidak ada satupun yang menunjukan perbedaan diantara keduanya. Hingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa hipotesis adanya eter yang terdapat di setiap posisi adalah salah atau dengan tegasnya eter tidak ditemukan atau ada.
Misalnya, apabila kita melihat suatu bena berubah tempat, maka kita tidak akan dapat menyatakan apakah benda tersebut bergerak atau kitakah yang bergerak? Andaikata eter itu ada, maka eter dapat dipaksa sebagai kerangka acuan yang tetap di alam semesta. Semua gerakan dapat dinyatakan relatif terhadap eter yang diam. Hal ini disebabkan eter tidak ada, maka kerangka acuan universal juga tidak ada.
Pada tahun 1905, albert eintein mempubilkasikan makalah yang berjudul, “On the Electrodynamics of Moving Bodies” atau dalam bahasa indonesianya kurang lebih demikian,”Elektrodinamika benda bergerak” dalam jurnal Annalen der physik. Makalah yang menyajikan teori relativitas khusus, berdasarkan dua postulat utama:
Teori relativitas khusus terdiri dari dua fostulat :
Fostulat I :” Hukum fisika dapat dinyatakan dalam persamaan yang berbentuk sama dalam semua kerangka acuan yang bergerak dengan kecepatan tetap satu sama lain.
Postulat ini menyatakan ketiadaan kerangka acuan universal. Jika dua pengamat berada dalam kerangka acuan lembam dan bergerak dengan kecepatan sama relatif terhadap pengamat lain, maka kedua pengamat tersebut tidak dapat melakukan percobaan untuk menentukan apakah mereka bergerak atau diam. Bayangkan ini seperti saat kita berada di dalam sebuah kapal selam yang bergerak dengan kecepatan tetap. Kita tidak akan dapat mengatakan apakah kapal selam tengah bergerak atau diam.
Contoh lain, ketika pesawat sedang terbang dengan kecepatan tetap, seorang pramugari dengan santainya membagikan makanan kepada para penumpang karena dia tidak merasakan bahwa pesawat sedang terbang, yang dia rasakan pesawat tersebut sedang diam (coba kalau dia membagikan makanan di dalam metromini..hehehe). Benar atau salahkah jika pramugari tersebut mengatakan bahwa pesawat tersebut diam berdasarkan apa yang dia rasakan? menurut teori ini benar.
Postulat II :  ”Cepat rambat cahaya di dalam ruang hampa ke segala arah adalah sama untuk semua pengamat, tidak tergantung pada gerak sumber cahaya maupun pengamat.”
Postulat kedua adalah sebuah konsekuensi dari foton yang tak bermassa bergerak dengan kecepatan cahaya pada ruang hampa. Eter tidak lagi memiliki peran khusus sebagai kerangka acuan inersia “mutlak” alam semesta, jadi bukan hanya tidak perlu, tetapi juga secara kualitatif tidak berguna di dalam relativitas khusus. Sebagai contoh pada kasus sederhana misalkan sebuah kereta api sedang bergerak dengan kecepatan 10 km/jam lalu ada seorang pedagang asongan di dalam kereta berjalan ke arah depan dengan kecepatan 2 km/jam. Menurut pengamat yang diam di pinggir rel kereta pedagang asongan tersebut bergerak dengan kecepatan 12 km/jam (10 km/jam + 2 km/jam). Hasil pengamatan Pengamat tersebut sesuai dengan teori gerak Newton[1].
Efek dari Relativitas Khusus
Relativitas khusus menghasilkan beberapa konsekuensi dari penggunaan transformasi Lorentz pada kecepatan tinggi (mendekati kecepatan cahaya). Diantaranya adalah :
1.      Dilatasi waktu (termasuk “paradok kembar” yang terkenal)
2.      Konstraksi panjang
3.      Transformasi kecepatan
4.      Efek doppler relativistk
5.      Simultanitas dan sinkronisasi waktu
6.      Momentum relativistik
7.      Energi kinetik relativistik
8.      Massa relativistik
9.      Energi total relativistik[2]
Pidato Einstein ketika mendapatkan teori relativitas[3] :
Bukanlah suatu hal yang mudah untuk menceritakan secara lengkap bagaimana saya mendapatkan teori relativitas. Hal ini disebabkan oleh adanya beragam kompleksitas yang secara tidak langsung memotivasi pemikiran manusia. Saya pun tidak ingin menyampaikan secara rinci perkembangan pemikiran saya berdasarkan makalah-makalah ilmiah saya, namun saya akan secara sederhana menyampaikan pada anda esensi perkembangan pemikiran tersebut.
Pertamakali saya mendapatkan ide untuk membangun teori relativitas sekitar 17 tahun lalu (1905). Saya tidak dapat mengatakan secara eksak darimana ide semacam ini muncul, namun saya yakin ide ini berasal dari masalah optik pada benda-benda yang bergerak. Cahaya merambat dalam lautan ether dan bumi bergerak dalam ether yang sama. Oleh karena itu gerakan ether haruslah dapat diamati dari bumi. Namun saya tidak pernah menemukan satu bukti pengamatan aliran ether tersebut di dalam literatur fisika. Saya sangat terdorong untuk membuktikan aliran ether relatif terhadap bumi, dengan kata lain gerakan bumi di dalam ether. Pada saat itu saya sama sekali tidak meragukan eksistensi ether serta gerakkan ether tersebut. Sebenarnya saya mengharapkan kemungkinan pengamatan pada perbedaan antara kecepatan cahaya yang bergerak searah dengan gerakan bumi dan cahaya yang bergerak berlawanan (dengan bantuan pantulan cermin).
Ide saya dapat direalisasi dengan menggunakan sepasang termokopel untuk mengukur perbedaan panas atau energi mereka. Ide ini mirip dengan eksperimen interferensi Albert Michelson, namun saat itu saya tidak begitu familiar dengan eksperimen Michelson. Saya berkenalan dengan hasil-nihil (null-result) eksperimen Michelson saat saya masih mahasiswa dan sejak saat itu saya sangat terobsesi dengan ide saya. Secara intuisi saya merasakan bahwa jika kita menerima hasil-nihil tersebut maka ia akan mengantarkan kita pada satu kesimpulan bahwa pandangan kita tentang bumi yang bergerak di dalam ether adalah salah. Ini adalah langkah pertama yang menarik saya ke arah teori relativitas khusus. Sejak saat itu saya mulai yakin bahwa jika bumi bergerak mengelilingi matahari maka gerakannya tidak pernah dapat dideteksi dengan eksperimen yang menggunakan cahaya.
Pada tahun 1895 saya membaca makalah Hendrik Lorentz yang mengklaim bahwa ia dapat memecahkan problem elektrodinamika seutuhnya melalui pendekatan pertama, yaitu suatu pendekatan dimana pangkat dua atau lebih dari rasio antara kecepatan benda dan kecepatan cahaya diabaikan. Setelah itu saya mencoba mengembangkan argumen Lorentz pada hasil eksperimen Armand Fizeau dengan mengasumsikan bahwa persamaan gerak elektron, sebagaimana telah dibuktikan Lorentz, berlaku dalam sistem koordinat baik yang mengacu pada benda bergerak maupun pada vakuum. Saya yakin dengan keabsahan elektrodinamika yang disusun oleh Maxwell dan Lorentz dan saya sangat yakin bahwa mereka dengan tepat menjelaskan fenomena alam yang sebenarnya. Lebih-lebih pada fakta bahwa persamaan yang sama berlaku dalam sistem koordinat bergerak serta sistem vakuum, jelas memperlihatkan sifat invarian (tidak berubah) cahaya. Walau demikian, kesimpulan ini bertentangan dengan hukum komposisi kecepatan yang dianut saat itu. Mengapa kedua hukum dasar ini bertentangan satu sama lain? Masalah besar ini membuat saya berfikir keras. Saya harus menghabiskan setahun penuh dengan sia-sia dalam mengeksplorasi kesempatan memodifikasi teori Lorentz. Masalah ini terlihat terlalu berat untuk saya!
Suatu hari, sebuah percakapan dengan teman saya di Bern membantu saya memecahkan masalah besar ini. Saya mengunjunginya pada hari yang cerah dan bertanya padanya: “Saat ini saya sedang dihadapkan pada masalah besar yang saya kira tidak pernah dapat diselesaikan. Sekarang saya ingin membagi masalah ini dengan anda.” Saya menghabiskan pelbagai diskusi dengannya. Tiba-tiba saya mendapatkan ide yang sangat penting. Esoknya saya katakan kepadanya : “Terimakasih banyak. Saya telah memecahkan seluruh masalah saya.”
Ide utama saya untuk pemecahan masalah ini berkenaan dengan konsep waktu. Waktu tidak boleh didefinisikan a priori sebagai suatu realitas absolut. Waktu haruslah bergantung pada kecepatan sinyal. Masalah besar ini dapat diselesaikan dengan konsep baru tentang waktu.
Hanya dalam lima minggu saya dapat menyelesaikan prinsip relativitas khusus setelah penemuan tersebut. Saya juga tidak memiliki keraguan akan keabsahan prinsip ini dari sisi filosopis. Lagipula prinsip ini sesuai dengan prinsip Mach, paling tidak sebagian jika dibandingkan dengan kesuksesan teori relativitas umum. Inilah cara saya membangun teori relativitas khusus.
Langkah pertama menuju teori relativitas umum muncul dua tahun kemudian (1907) dengan cara yang berbeda.
Saya tidak terlalu puas dengan teori relativitas khusus karena prinsip relativitas hanya terbatas pada gerak relatif dengan kecepatan konstan namun tidak dapat diaplikasikan pada gerak secara umum. Pada tahun 1907 saya diminta oleh Johannes Stark untuk menulis ulasan tentang pelbagai hasil eksperimen dari teori relativitas khusus dalam laporan tahunannya Jahrbuch der Radioaktivitaet und Elektronik. Ketika diminta untuk menulis artikel ini saya sadar bahwa teori relativitas khusus dapat diterapkan pada semua fenomena alam kecuali gravitasi. Saya benar-benar ingin mencari jalan untuk menerapkan teori ini pada kasus gravitasi. Namun saya tidak dapat menyelesaikan hal ini dengan mudah. Satu hal yang membuat saya frustrasi adalah fakta bahwa meski teori relativitas khusus memberikan relasi yang sempurna antara kelembaman dan energi, sementara relasi antara kelembaman dan berat (inersia dan sistem gravitasi) tidak tersentuh sama sekali. Saya curiga bahwa masalah ini berada jauh di luar cakupan teori relativitas khusus.
Suatu hari saya sedang duduk di atas sebuah kursi di Kantor Paten Swiss di Bern. Inilah saatnya sebuah ide cemerlang melintas di benak saya. “Seseorang yang jatuh bebas tidak akan mengetahui berat badannya.” Ide sederhana ini memberi saya pemikiran yang mendalam. Emosi liar yang melanda saya saat itu mendorong saya ke arah teori gravitasi. Saya kembali berfikir, “Seseorang yang jatuh bebas memiliki percepatan.” Pengamatan yang dilakukan oleh orang ini sebenarnya dilakukan pada sistem yang dipercepat. Saya memutuskan untuk memperluas prinsip relativitas dengan memasukkan percepatan. Saya juga berharap, dengan menggeneralisasi teori ini saya akan sekaligus memecahkan masalah gravitasi. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa orang yang jatuh bebas tidak merasakan berat badannya akibat adanya medan gravitasi lain yang menghilangkan medan gravitasi bumi. Dengan kata lain, setiap benda yang dipercepat membutuhkan medan gravitasi baru.
Meski demikian saya tidak dapat memecahkan masalah ini secara utuh. Delapan tahun saya habiskan untuk menurunkan relasi yang nyata. Sebelum itu, saya hanya mendapatkan potongan-potongan dasar teori tersebut.
Ernest Mach juga mengklaim prinsip ekivalensi antar sistem-sistem yang dipercepat. Namun jelas hal ini tidak cocok dengan geometri biasa. Hal ini disebabkan karena jika sistem-sitem semacam ini diizinkan, maka geometri Euclidean tidak berlaku di setiap sistem. Menjelaskan hukum fisika tanpa geometri sama saja dengan menjelaskan suatu pemikiran tanpa kata-kata. Kita harus mempersiapkan kata-kata tersebut sebelum kita dapat menjelaskan pemikiran kita. Jadi, apa yang harus saya letakkan sebagai landasan teori saya?
Masalah ini tetap tak terselesaikan hingga tahun 1912. Pada tahun itu saya menyadari bahwa teori permukaan Karl Friedrich Gauss dapat menjadi dasar yang baik untuk memecahkan misteri di atas. Bagi saya, koordinat permukaan Gauss merupakan peralatan yang sangat penting. Namun saya tidak mengetahui bahwa George Riemann sebelumnya telah mengembangkan dasar-dasar geometri yang sangat mendalam. Saya hanya ingat teori Gauss yang saya dapat dalam kuliah dari seorang dosen matematika bernama Carl Friedrich Geiser ketika saya masih mahasiswa. Jadi saya semakin yakin bahwa sifat-sifat dasar dari geometri haruslah memiliki arti fisis.
Sekembalinya saya ke Zurich dari Praha saya menemui teman dekat saya, seorang ahli matematika, Marcel Grossmann. Ia membantu saya mencarikan referensi-referensi matematika yang agak asing bagi saya ketika saya masih di kantor paten Swiss di Bern. Inilah untuk pertamakali saya belajar darinya hasil karya Curbastro Ricci serta makalah-makalah Riemann. Saya tanyakan kepadanya apakah masalah saya dapat diselesaikan dengan teori Riemann, yaitu apakah invarian dari elemen garis cukup untuk menentukan seluruh koefisien yang saya cari. Selanjutnya, saya berkolaborasi dengannya dalam menulis sebuah makalah pada tahun 1913, meski persamaan gravitasi yang sesungguhnya belum dapat diturunkan saat itu. Penyelidikan lebih lanjut dengan menggunakan teori Riemann, sayangnya, menghasilkan banyak kesimpulan yang bertentangan dengan harapan saya.
Dua tahun berikutnya berlalu saat saya masih memutar otak untuk memecahkan masalah ini. Pada akhirnya saya menemukan satu kesalahan pada perhitungan saya sebelumnya. Saya kembali mencoba menurunkan persamaan gravitasi yang benar berdasarkan teori invarian. Setelah dua minggu bekerja, jawaban akhir muncul di depan saya.
Setelah tahun 1915 saya mulai mengerjakan problem kosmologi. Riset yang saya lakukan menyangkut geometri dan waktu jagad raya. Riset ini didasarkan pada pembahasan syarat batas teori relativitas umum dan argumen kelembaman Mach. Meski saya tidak mengetahui sejauh mana dampak ide Mach pada substansi relativitas umum dari kelembaman, saya yakin bahwa pemikiran besar ini merupakan filosopi dasar saya.
Mula-mula saya mencoba membuat syarat batas persamaan gravitasi menjadi invarian. Belakangan saya bahkan dapat menghilangkan batasan ini dengan asumsi bahwa jagad raya bersifat tertutup. Dengan demikian saya berhasil memecahkan masalah kosmologi. Sebagai hasilnya diperoleh bahwa kelembaman muncul sebagai satu sifat relatif di antara materi dan haruslah lenyap jika tidak ada benda lain yang berinteraksi dengannya. Saya yakin jika sifat penting ini membuat teori relativitas umum memuaskan kita bahkan dalam pandangan epistemologi sekalipun.  Dengan ini saya ingin mengakhiri cerita singkat saya tentang bagaimana saya membangun teori relativitas. Terimakasih banyak.

Rujukan
1.         Kanginan, Marthin, 1995. Fisika, Jakarta : Erlangga.
3.       Nyoman Keiasa, dkk. 1984, Energi Gelombang dan Medan, Jilid 1, Jakarta: PN Balai Pustaka
5.       Serway, RA. 1986, Physics For Scientist and Engineers with Modern Physics, New York : Sounders College Publishing. Terjemahan)
6.       Trippler, PA, 1976, Physics, a texs with Application to the Life Science, California : Commings Publishing Company. Terjemahan)
8.       Willams, GA. 1973, Physical Science, Newe York: McGraw-Hill Book Company.

Menurut teori gelombang Huygens, cahaya memerlukan medium untuk merambat. Jadi, cahaya dapat mencapai Bumi dari Matahari karena di ruang hampa yang dilalui cahaya ada medium perambatan gelombang cahaya yang disebut eter. Namun, belum ada bukti langsung akan keberadaan eter tersebut. Pada tahun 1881 Albert. A. Michelson menemukan suatu inferometer optic (alat yang berdasarkan inferrensi cahaya) sangat sensitive sekali. Pada tahun 1887 bersama dengan E.W Morly Mischelson melakukan suatu eksperimen dengan alat ini untuk menguji apakah eter itu ada atau tidak. Percobaan itu berdasarkan prinsip penjumlahan vector kecepatan. Percobaan Michelson dan Morley dilakukan dengan alat-alat Cahaya dari sumber S mengenai cermin M yang bersifat memantulkan sebagian cahaya dan meneruskan sisanya. Sinar dipantulkan M akan bergerak menuju cermin M2 , (kita namakan sinar 2) sedangkan sinar yang diteruskan akan bergerak menuju cermin M1 (kita namakan sinar 1). Sinar 2 yang dipantulkan oleh cermin M2 akan mengenai cermin M dan dipantulkan ke pengamat. Di pengamat sinar 1 dan sinar 2 akan berinteraksi. Dengan mengamati pola-pola interfrensi kita dapat menentukan apakah eter itu ada. Anggap eter itu bergerak dari kanan ke kiri dengan kecepatan v= 30 km/s. kecepatan sinar dari M ke M1 adalah c-v sedangkan dari M1 ke M adalah c+v. jika panjang lintasan yang ditempuh sinar 1 dari M ke M1 adalah I1 maka dari M ke M1 atau kembali ke M adalah : t_1= t_1/(c-v)+t_1/(c+v)=(t_1 (c+v))/(c^2-v^2 )+(t_1 (c-v))/(c^2-v^2 ) =t_1(2c) /(c^2-v^2 )=(2t_1 c)/(c^2 (1-v^2/c^2 ) )=(2t_1)/c (1/(1-v^2/c^2 )) Dalam rangka acuan eter sinar 2 akan melalui lintasan miring seperti digambarkan pada gambar Lintasan miring ini diakibatkan oleh eter yang bergerak ke kiri. Jika waktu di M ke M2 dan kembali ke M adalah t2 maka panajang lintasan cahaya ini adalah ct2. Dari gambar (dengan phytagoras) terlihat bagwa panjang lintasan ini sama dengan 2[t_2^2+(〖vt〗_2/2)^2 ]^(1/2) dari sini kita menghitung 2[〖t_2^2+(〖vt〗_2/2)〗^2 ]^(1⁄2)=〖ct〗_2 4[〖t_2^2+(〖vt〗_2/2)〗^2 ]^(1⁄2)=c^2 t_2^2 4t_2^2+ v^2 t^2 2= c^2 t^2 4t_2^2= t^2 2 (c^2- v^2) t_2^2= (4t_2^2 2)/((c^2-v^2)) t_2=(2t_2)/c (1/(1- v^2/c^2 )) Perhitungan diatas dibuat dalam kerangka eter sedang perhitungan t1 dalam kerangka alat-alat. Hal ini diperbolehkan karena mekanika Newton, waktu tidak tergantung pada kerangka. Hasil perhitumham t2 dapat juga diperbolehkan pada kerangka alat-alat. Pada kerangka ini kecepatan sinar 2 relatif terhadap bumi adalah (c2-v2)+1/2 dan panjang lintasan dari M ke M2 adalah sama dengan I2. Jadi waktu dari M ke M2 adalah I2 (c2-V2)-1/2. Waktu total dari M ke M2 dan kembali ke M adalah t_2= 〖2l〗_2 (1/((c^2-c^2 ) ))^(1/2)=(2I_2)/c (1/(1-v^2/c^2 ))^(1/2) Jadi perbedaan waktu untuk lintasan mendatar dan lintasan vertical adalah: Δt= t_2-t_1=2/c (〖I_2 (1-V^2/c^2 )〗^(-1/2)-I_1 〖(1-v^2/c^2 )〗^(-1))) Sekarang gunakan ekspansi pangkat berukut ini : (1-x)n = 1-nx+(n(n-1) x^2)/2-(n(n-1)(n-2) x^3)/6+. Dengan x=v2/c2. Karena x jauh lebih kecil dari 1 maka kita abaikan suku x2, Sehingga kita akan peroleh: (1-v^2/c^2 )^(-1)=1-v^2/c^2 (1- v^2/c^2 )^(-1/2)=1- v^2/〖2c〗^2 Gunakan ekspansi diatas apada rumus ∆t untuk memperoleh : Δt= t_2- t_1= 2/c(I_2 (1-v^2/〖2c〗^2 )-I_1 (1-v^2/c^2 )) Perbedaan waktu dari kedua sinar ini akan menyebabkan perbedaan fase antara kedua sinar ini akan menyebabkan perbedaan fase antara kedua sinar sehingga menghasilkan pola-pola interferensi di teropong (atau pada layar yang dihubungkan dengan teleskop ini ) bentuk pola-pola digambarkan pada Jika alat ini diputar 90o maka selisih kedua lintasan adalah Δt= t_2- t_2= 2/c [I_1 (1-v^2/c^2 )-I_2 (1-v^2/〖2c〗^2 ) ] Perbedaan ∆t dan ∆t’ adalah : Δt- Δt^'= ((I_(1 )+I_2 ) v^2)/c^2 Perubahan perbedaan lintasan antara kedua kasus ( sebelum dan sesudah alat diputar) Δ= (Δt- Δt')c= ((I_1+I_2)v^2)/c^3 Jika ∆ sama dengan satu panjang gelombang maka satu pita akan bergeser melewati tanda silang pada osiloskop dan jika ∆ sama dengan 2 gelombang maka dua pita akan bergeser melewati tanda silang tersebut jadi banyaknya pita yang bergeser adalah : ΔN= Δ/λ=((I_1+I_2))/(λc^2 ) Michelson dan Morley menggunakan data sebagai berikut : I_1≈ I_2≈11 m λ=5,5 x 〖10〗^(-7) m v^2/c^2 =(30/300000)^2=〖10〗^(-8) Dengan menggunakan data di atas kita peroleh : ∆N = (22.〖10〗^(-8))/(5,5 x 〖10〗^(-7) )=0,4 pita Jika Michelson dan Morley mengharapkan 0,4 pita akan melewati tanda silang pada layer osiloskop. Namun kenyataan ia tidak sama sekali tidak melihat pergeseran pita ini, walupun sudah melakukan percobaan ini selama setahun lebih. Dari sini mereka menyimpulkan bahwa : (1) hipotesis tentang eter tidak benar; ternyata eter tidak ada, (2) kecepatan cahaya adalah besaran mutlak, tidak bergantung pada kerangka acuan inersial sumber: - Beiser.A.1981.Konsep Fisika Modern. Jakarta : Erlangga - Krane.K.S.1983. Fisika Modern. New York : Jonh Wiley and Sons - http: //Apa itu Relativitas « All About Fisika.html - http: // gambaran-umum-teori-relativitas.html - http:// Fisika Modern.htm - http: //relativitas-einstein.html